Profesionalitas guru memang menjadi salah satu syarat utama
mewujudkan pendidikan bermutu. Dan karenanya, pemerintah telah
mengupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan
profesionalitas guru-guru di Tanah Air.
Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember
2004. Melalui pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan
meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh mereka
yang kepepet mencari kerja.[1] Eksistensi guru tersebut
dikukuhkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang
ditandatangani Presiden RI pada 30 Desember 2005.
UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga
profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional
bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[2]
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk
meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan fungsi
tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa permasalahan dan kendala. Guru profesional
adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari pemerintah, dan berhak
mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum
mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum
profesional. Padahal yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau
tidak, tetaplah harus bekerja secara profesional. Hal tersebut kemudian
mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi dan yang
belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya.
Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi
itu sendiri masih dipertanyakan banyak pihak. Sertifikat profesi
seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh
substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan
pemerintah sebagai syarat guru mendapatkan sertifikat profesi perlu
ditinjau lebih dalam.
Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis
seberapa jauh UU No. 14 Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur
tentang profesionalisme guru untuk kemudian dikaji kelemahan dan kelebihannya.
Latar Belakang Lahirnya UU Guru dan Dosen
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi:
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," dan ayat (5) yang berbunyi:
"Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
serta kesejahteraan umat manusia.", UU Guru dan Dosen juga lahir
bertujuan untuk memperbaiki pendidikan nasional, baik secara kualitas
maupun kuantitas, agar sumber daya manusia Indonesia bisa lebih beriman,
kreatif, inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi
meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan
nasional yang dimaksud meliputi, Sistem
Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru dan Dosen, Standar Kurikulum yang digunakan, serta hal lainnya.
Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru
professional yang memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8
Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen (UUGD) yang
menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih dalam lagi pada pasal
10 ayat (1) UUGD dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang dimaksud meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
Selain mengatur hal-hal penting di atas, UUGD juga mengatur hal lain
yang tak kalah pentingnya bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru.
Isi Pokok UUGD
UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam beberapa bagian.
Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang terdiri dari:
(a) Ketentuan Umum,
(b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan
(c) Prinsip Profesionalitas.
Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi,
(b) Hak dan Kewajiban,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan,
(h) Cuti, dan
(h) Organisasi Profesi.
Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik,
(b) Hak dan Kewajiban Dosen,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan, dan
(h) Cuti.
Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).
Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (5 Pasal).
Dari seluruh pasal tersebut di atas pada umumnya mengacu pada penciptaan
Guru dan Dosen Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik tanpa
melupakan hak dan kewajibannya.
Guru Profesional
Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya
disingkat UUGD) disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[3]
Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi.[4]
Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang
meliputi: memiliki bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru,
memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, memiliki mental yang
sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas,
guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang
baik.[5]
Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak jauh beda dengan
pasal yang tercantum dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai berikut:
Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma
empat.
Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan
profesi.
Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang
bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi
secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni;
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan
jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar
belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam
pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.[6]
Type Guru Profesional sebagaimana digambarkan dalam UUGD di atas menurut
penulis sudahlah baik, sehingga tidak perlu untuk dibahas lebih jauh.
Guru Profesional dalam Perspektif Islam
Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang
sangat kuat. Dalam pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam
kitabnya Ta’lim Muta’lim di antara syarat seseorang untuk dapat
belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti menghormati
ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya
tanpa menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar posisi dan fungsi
guru sehingga menghormatinya itu lebih baik dibandingkan sekedar
mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama para santri ini, manusia tidak
dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur karena
tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang guru tidak di
syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan
sejarahnya seorang guru yang akan mengajar diminta keterangan ijazah
pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun belajar dari satu pesantren
ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat tapi
kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi
masyarakat. Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru
agama. Bila hanya lingkup kecil biasanya cukup disebut ustadz. Namun
bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan kemampuannya
memimpin pesantren dengan santri banyak, maka akan tersanding
sertifikat gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang
bisa memperoleh sertifikat ini, karena masyarakat memberikan khusus
kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada guru
agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat
dan sikap yang tidak sesuai dengan kualifikasinya, maka gelar tersebut
akan dicabut kembali oleh masyarakat.[7]
Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil
menjalankan tugasnya apabila memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta
mempunyai kompetensi profesional religius.[8]
Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah
kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu
membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu
mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan wawasan keahliannya
dalam perspektif Islam.[9]
Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan
tentang hal itu, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati, semuanya itu akan di tanya. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 36)
Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru
mestilah memiliki kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam
UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali pernah berkata, “ Hendaklah guru
mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya.
Perumpamaan guru yang membimbing murid, bagaikan ukiran dan tanah liat
atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir
sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan
akan lurus kalau tongkatnya bengkok .”[10]
Memang, adakalanya seorang guru dalam mengajar menemui permasalahan.
Keadaan yang demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut
on-service training. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengadakan
pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang mempunyai bagian
sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam
mencari alternatif pemecahannya.[11]
Mengukur Keprofisonalan Guru
Sebagaimana sudah disebutkan, guru profesional setidaknya harus memenuhi
empat kompetensi, yakni kompetensi akademik, kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan
program sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat
pendidik untuk guru yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang
memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan
ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan,
dan akuntabel.
Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai
guru professional sesuai dengan mata pelajaran yang diampu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara
detail di UUGD dan telah dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara
khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan tersebut adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang
Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah
banyak persoalan muncul.
Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio,
sementara bagi yang belum lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan
profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun 2011 ini,
pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan
portofolio hanya 1%.
Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru
yang disinyalir memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk
mendapatkan nilai yang baik. Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah
kompetensi pedagogik guru, sementara dua kompetensi yang lain, yakni
kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya.
Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam
buku pedoman sertifikasi guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk
mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah mengajar sebelum
UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini
tentu membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi.
Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa
akibat, pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas
yang hanya ditetapkan melalui sertifikat. Kualitas guru yang paling
mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat guru mengajar.
Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan
hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk
meningkatkan kualitas tidak saja bersandar pada lembaga pendidikan
melainkan juga menggali kritik, saran, dan pertimbangan publik.[12]
Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga
melahirkan fenomena baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi,
guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh pendidikan strata satu
atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang
pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama
ini sudah mengajar anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan
kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam lingkungan pendidikan
menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena
belum lulus S-1 atau tidak memiliki akta mengajar. Mereka menjadi
kalang kabut, sehingga mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1
dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut yang berlebihan mengakibatkan
mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang informasi
tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut.
Mereka sudah tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau
kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga pendidikan yang akan mereka
masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyelesaikan S-1
dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari
pekerjaannya sebagai pengajar.[13]
Penghargaan terhadap Guru Profesional
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah memberikan reward (penghargaan) berupa:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan
kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan
perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.[14]
Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan
profesionalisme dan kesejahteraan guru. Bentuk kesejahteraan yang
sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah mendapatkan tunjangan
profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa
kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus
PNS, tetapi juga swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi,
pemerintah memberikan TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan) sebesar dua
ratus lima puluh ribu rupiah perbulan.
Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus
terhadap kinerja guru. Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006
sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh signifikan dengan
peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan
untuk standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan
kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas dengan menunjukkan
selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara instan.[15]
Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah
memicu adanya kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini
mengakibatkan kinerja guru-guru non-sertifikasi tidak maksimal dalam
bekerja.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara
guru bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah
semua guru haruslah bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah
untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk dihargai, tetapi
cara penanganannya masih setengah-setengah.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru
Independen Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan. Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.[16]
Memang melalui UUGD kita berharap kesejahteraan guru menjadi meningkat.
Akan tetapi, menurut Eko Prasetyo, UUGD ini telah terjebak dalam logika
sesat tentang pembelajaran. UUGD ini tampaknya buta secara historis
kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan kesadaran dan
tradisi intelektual siswa. Fungsi politis guru ni dikalahkan oleh
keinginan negara mengatur secara administrasi pengelolaan guru dan
menumpahinya dengan peningkatan pendapatan.[17]
Selain hal di atas, pemberian tunjangan profesional ini juga tidak
didukung oleh anggaran dana yang disediakan oleh pemerintah. Akibatnya,
pelaksanaan sertifikasi menyebabkan proses sertifikasi sering mengalami
masalah teknis, seperti terbatasnya dana bagi assessor atau penundaan
pelaksanaan sertifikasi, dan lain sebagainya.
KESIMPULAN
Berbagai problem yang mendera bangsa ini bisa dibereskan melalui
pendidikan, dan guru menjadi aktor yang penting yang mampu menjalankan
peranannya ini. Sebagai sebuah profesi, guru memang sudah selayaknya
memiliki payung hukum tersendiri sehingga mendapatkan perlakuan yang
layak dari berbagai pihak. UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
yang diberlakukan kini, memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri.
Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, salah satunya adalah dengan meningkatkan keprofesionalan
guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya beberapa pasal yang mengatur
keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik teknis maupun
teoritis.
Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang
pekerjaan mendidik, yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin
dikatakan guru profesional maka harus memiliki sertifikat profesi, yang
mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji kompetensi. Hal
ini membuat guru menjadi tertekan, dan akibatnya tugasnya menjadi
terbengkelai.
Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang
berat juga telah menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas
pada kinerja.
SARAN KEBIJAKAN
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya
untuk ditinjau kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang
kurang bijaksana. Guru memang sudah selayaknya mendapatkan tunjangan
profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih memberikan
kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik yang sertifikasi atau
belum mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk
mendapatkan kesejahteraan yang sama.
Catatan kaki:
[1] Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Hlm. 197.
[2] Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 6.
[3] Pasal 1 (1) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[4] Pasal 1 (4) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[5] Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 118.
[6] Pasal 20 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[7] Natsir, Nanat Fatah, 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung., hlm. 27.
[8] Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. Hlm. 115.
[9] Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung. Hlm. 173
[10] Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung. Hlm. 56.
[11] Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta. Hlm. 128.
[12] Prasetyo, Eko. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2, Jogjakarta: Resist Book, , hlm. 161.
[13] Natsir, Nanat Fatah, Op.Cit. hlm. 25.
[14] Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[15] Berita di Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 .
[16] Presetyo, Eko, Op.Cit. hlm. 162.
[17] Ibid, hlm. 163-164.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma,.
Eko Prasetyo. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2. Jogjakarta: Resist Book.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara.
Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon.
Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung.
Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta.
Natsir, Nanat Fatah. 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung.
Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 (Berita)
Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung.
UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Rabu, 19 Juni 2013
0 Comments